MAKALAH TEORI SOSIOLOGI KLASIK
TUJUH TOKOH SOSIOLOGI DAN TEORI YANG MEREKA KEMUKAKAN
Dosen Pengampu: Nur Hidayah M.Si.
Prof. Dr. Farida Hanum M.si

disusun oleh :
Witriyaningsih 10413244022
PENDIDIKAN SOSIOLOGI NR/2010
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ke tujuh tokoh sosiologi yaitu August Comte, Emile Durkeim, Max Weber, Karl marx, Herbert Spencer, Ferdinand Tonnise, dan Georg SImmel. Masing-masing dari mereka memiliki teori-teori dan pemikiran mengenai kehidupan masyarakat yang ada di penjuru dunia. Mereka memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan social masyarakat dari masa lalu hingga sekarang. Teori-teori yang mereka kemukaan masih dapat bertahan dan dipertanggung jawabkan kebenarannya, hal ini terbukti dengan fenomena yang ada di masyarakat baik itu tradisional maupun modern. Oleh sebab itu saya ingin mengkaji lebih dalam mengenai teori “ke tujuh tokoh Sosiologi Klasik” tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dan teori yang dikemukaan oleh ketujuh tokoh sosiologi tersebut ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi dan teori yang dikemukaan oleh ketujuh tokoh sosiologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuh tokoh sosiologi dan teori mereka.
1. August Comte.
August comte memiliki nama panjang Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, lahir pada tanggal 19 januari 1798 di kota Montpeller di baagian selatan Prancis. Beliau adalah filsuf dan ilmuan sosial terkemuka yang sangat berjasa dalam perkembangan ilmu kemasyarakatan atau sosiologi. Pada tahun 1842, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Le Cours de Philosophie Positivistic. Pemikiran brilian Comte mulai menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya filsafat yang tumbuh lebih dahulu. Dengan penuh kesadaran bahwa akal budi manusia terbatas, comte mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan ilmiah.
Tiga hal ini dapat menjadi ciri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu : 1. Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan 3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat. Keyakinan Comte dalam pengembangan yang dinamakan positivisme semakin besar, positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode ilmu pengetahuan. Pada Zaman pencerahan menyebabkan beberapa “penyakit” pada masyarakat. Oleh karena itu Comte menginginkan adanya perubahan atau reformasi sosial untuk memperbaiki “penyakit” yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis dan Pencerahan itu. Comte hanya menginginkan evolusi alamiah di masyarakat.
Hingga akhirnya tercipta teori evolusi yang dikemukakan Comte atau yang biasa disebut hukum tiga tahap yaitu:
a. Tahap teologis
Dimulai sebelum tahun 1300 dan menjadi ciri dunia. Tahap ini meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa, roh atau tuhan. Pemikiran ini menjadi dasar yang mutlak untuk menjelaskan segala fenomena yang terjadi di sekitar manusia, sehingga terkesan irasional. Dalam tahap teologis ini terdapat tiga kepercayaan yang dianut masyarakat. Yang pertama fetisysme dan dinamise, menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa. Contohnya, bergemuruhnya guntur disebabkan raksasa yang sedang berperang dan lain-lain. Kemudian ada animisme yang mempercayai dunia sebagai kediaman roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua politeisme, sedikit lebih maju dari pada kepercayaan sebelumnya. Politeisme mengelompokkan semua dan kejadian alam berdasarkan kesamaan-kesamaan diantara mereka. Sehingga politeisme menyederhanakan alam semesta yang beranekaragam. Contoh dari politeisme, dulu disetiap sawah di desa berbeda mempunyai dewa yang berbeda. Politeisme menganggap setiap sawah dimanapun tempatnya mempunyai dewa yang sama, orang jawa mengatakan dewa padi yaitu yaitu dewi sri. Yang terakhir, monoteisme yaitu kepercayaan yang menganggap hanya ada satu tuhan.
b. Tahap metafisik
Pada tahap ini manusia mengalami pergeseran cara berpikir. Tahap teologis, semua fenomena yang terjadi disekitar manusia sebagai akibat dari kehendak roh, dewa atau tuhan. Namun pada tahap ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan seperti “alam”. Tahap ini terjadi antara tahun 1300 sampai 1800.
c. Tahap positivisme
Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris. Lembaga agama yang dulunya mengatur segalanya pada tahap ini harus menyerahkan hegemoninya kepada lembaga-lembaga lainnya sehingga muncullah lembaga-lembaga lainnya. Selainnya itu muncul sekulerisme atau pemisahan dibidang agama dengan bidang yang lain. Tahap ini menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional, sehingga tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (tuhan atau alam) dan lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya (Teori Sosiologi, George Ritzer & Douglas J. Goodman Halaman 17).
2. Emile Durkheim.
Emile Durkheim lahir tahun 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di Bagian timur Prancis yang agak terpencil dari masyarakat luas. Masalah-masalah dasar tentang moralitas dan usaha meningkatkan moralitas masyarakat merupakan perhatian pokok selama hidupnya. Durkheim mulai mengajar. Selama lima tahun ia mengajar dalam satu sekolah menengah atas (lycees) di daerah Paris. Sejak awal karir mengajarnya, Durkheim bertekad untuk menekankan pengajaran praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat tradisional yang menurut dia tidak relevan dengan masalah sosial dan moral yang gawat yang sedang melanda Republik ketiga itu. Dalam perkembangan diurkheim mengalami pertentangan dengan Herbert spencer hal ini terbukti dengan perbedaan pendapat mengenai, Gambaran Spencer mengenai masyarakat yang ideal atau yang paling maju adalah masyarakat dimana individu memiliki kebebasan sebesar-besarnya untuk mengejar kepentingannya dan meningkatkan kebahagiaan tanpa diarahkan atau dikontrol oleh otoritas pusat manapun.
Pandangan Spencer mengenai peranan yang tepat dari pemerintah berbeda dengan pandangan Comte dan Durkheim. Gagasan Comte mengenai masyarakat positivis yang ideal di masa depan adalah masyarakat dimana pemimpin-pemimpin yang senantiasa mendapat penerangan sosiologis akan memberikan kontrol yang kuat dalam mengatur pelbagai segi kehidupan sosial untuk memastikan bahwa hukum-hukum dasar yang mengendalikan keteraturan sosial dan kemajuan itu dipertahankan. Pandangan Durkheim kurang muluk, tetapi dia jugga melihat pemerintah sebagai pelindung dasar-dasar moral masyarakat.
Gambaran Spencer yang bersifat individualistik tentang kenyataan sosial sangaty berbeda dengan tekanan Durkheim bahwa fakta sosial mengatasi individu. Spencer mengasumsikan bahwa masyrakat merupakan hasil dari persetujuan kontraktual antara individu-individu yang bersepakat untuk mengejar kepentingan individunya.
Gambaran Spencer yang bersifat individualistik tentang kenyataan sosial sangaty berbeda dengan tekanan Durkheim bahwa fakta sosial mengatasi individu. Spencer mengasumsikan bahwa masyrakat merupakan hasil dari persetujuan kontraktual antara individu-individu yang bersepakat untuk mengejar kepentingan individunya.
Adapun pemikiran Durkheim mengenai fakta social sebagai berikut :
a. Pengertian Fakta Sosial
Durkheim (1895/1982: 13), menyatakan bahwa “fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.”
Kutipan ini menjelaskan bahwa Durkheim memberikan dua definisi untuk fakta sosial agar sosiologi bisa dibedakan dari psikologi. Pertama, fakta sosial adalah pengalaman sebagai sebuah paksaan eksternal dan bukannya dorongan internal. Kedua, fakta sosial umum meliputi seluruh masyarakat dan tidak terikat pada individu partikular apapun.
Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada individu, namun masih dipelajari sebagai realitas mereka. Durkheim sendiri memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial, termasuk aturan legal, beban moral, dan kesepakatan social.
Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada individu, namun masih dipelajari sebagai realitas mereka. Durkheim sendiri memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial, termasuk aturan legal, beban moral, dan kesepakatan social.
b. . Tipe-tipe Fakta Sosial
Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial, yaitu material dan nonmaterial. Fakta sosial material, seperti gaya arsitektur, bentuk teknologi, dan hukum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Fakta sosial material seringkali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berada di luar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial. Jenis-jenis fakta social nonmaterial menurut Durkheim :
a) Moralitas, adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta social lain. Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Yang kedua Durkheimterdorong atas kepedualiannya dari sisi moralitas yang terjadi pada masyarakat modern.
b) Kesadaran Kolektif, adalah seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adalah konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama lebih dari masyarakat modern.
c) Representasi Kolektif, adalah ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti ritual keagamaan, mitos, dll.
d) Arus Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan “dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam kumpulan publik.
e) Pikiran Kelompok adalah menurut Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa.
Selain pemikiran beliau mengenai fakta social terdapat beberapa pemikiran lain mengenai solidaritas, agama, serta fenomena bunuh diri yang ada dimasyarakat. Durkheim menjelaskan pemikiranya sebagai berikut :
1. Solidaritas dalam implementasinnya pembagian kerja.
Durkheim hidup dimasa industrialisasi, dimana pembagian kerja meningkat secara pesat. Peningkatan ini terjadi baik didalam bidang ekonomi, politik, administratif, hukum, bahkan didalam ilmu pengetahuan. Dan ini tampak didaerah-daerah perkotaan yang dengan jelas memperlihatkan peningkatan kompleksitas dan spesialisasi pekerjaan. Sedemikian besarnya peningkatan pembagian pekerjaan ini hingga kaitannya dengan tatanan sosial tidak dapat diabaikan begitu saja. Dengan hubungan yang kuat diantara pembagian kerja dengan solidaritas sosial, Durkheim berpandangan bahwa struktur pembagian kerja disuatu masyarakat akan memebentuk corak solidaritas sosial yang khas dari masyarakat itu, Durkheim membaginya menjadi dua jenis solidaritas.
Solidaritas mekanik
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama. Solidaritas ini merupakan bentuk yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut pemikiran normatif yang sama pula. Menurut Durkheim, indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan atau repressive. Ciri khas lain dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas tersebut hanya memungkinkan adanya pembagian kerja yang sangat minim.
Solidaritas organik
Solidaritas organik muncul karena adanya pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi, ketergantungan ini bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan atau restitutive yakni yang berfungsi mempertahankan dan melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalm masyarakat. Oleh karena itu, hukum ini bukan bersifat balas dendam dan bersifat rasional bukan berdasarkan kemarahan dari anggota kelompok yang lain terhadap penyimpang.
2. Pemahaman Emile Durkheim Terhadap Sosiologi Agama.
Durkheim menemukan hakikat abadi agama dengan cara memisahkan yang sakral dari yang profan. Yang sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok. Masyarakat melalui individu menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral sementara yang lain sebagai profan. Aspek realitas sosial yang dianggap sakral inilah yaitu suatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama. Segala sesuatu yang lainnya dianggap profan atau tempat umum yaitu suatu yang bisa dipakai sebagai aspek kehidupan duniawi. Disatu pihak, sakral melahirkan sikap hormat, kagum dan bertanggungjwab.
Dengan adanya hubungan timbal balik antara yang sakral, kepercayaan, ritual dan gereja mendorong Durkheim untuk mengemukakan definisi agama sebagai berikut: “Agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua yang melekat padanya. Ritual dan Gereja sangat penting dalam teori agama Durkheim karena keduanya menghubungkan representasi sosial dengan praktik individu. Individu mempelajari sesuatu yang sakral dan kepercayaannya yang berbaur melalui keikutsertaan dia dalam ritual dan komunitas gereja. Ritual dan Gereja menjaga representasi masyarakat dari kehilangan tekanan mereka dengan mengulang reaksi ingatan kelompok kolektif secara dramatis. Totemisme adalah sistem agama dimana sesuatu, bisa binatang, dan tumbuhan dianggap sakral dan jadi simbol klan. Sedangkan Durkheim menganggap totemisme sebagai bentuk agama yang paling sederhana dan paling primitif dan dia percaya bahwa totemisme terkait dengan bentuk paling sederhana dari organisasi sosial sebuah klan.
3. Analisis Fenomena bunuh diri menurut Emile Durkheim.
Durkheim mendefinisikan “bunuh diri” sebagai: “…semua kasus kematian yang disebabkan, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh tindakan positif maupun negatif pelakunya. Dan sang pelaku tahu bahwa tindakan ini akan menyebabkan kematiannya”. Bunuh diri menurut tafsir psikologis disebabkan oleh empat tipe gangguan mental, yaitu:
1. Maniacal suicide, yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh halusinasi. Bunuh diri tipe ini dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan depresi berat dan kesedihan yang meluap-luap.
2. Obsessive suicide, yaitu kasus-kasus bunuh diri yang tidak dilandaskan pada motivasi tertentu, tetapi dilandaskan semata-mata pada obsesi yang begitu kuat kematian terhadap kematian.
3. Impulsive atau automatic suicide, yaitu tindakan bunuh diri yang semata-mata dilandaskan pada dorongan impulsif.
Menurutnya, walaupun bunuh diri merupakan keputusan individu namun tingkat bunuh diri tidak dapat dipandang sebagai tindakan individual. Bunuh diri merupakan gejala sosial dalam masyarakat dan juga sebuah fakta sosial sui generis (tak bisa direduksi menjadi fakta lain) karena memiliki sifat-sifat dasarnya sendiri. Dengan adanya integrasi, yang merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat, pada fakta integrasi Durkheim mengklasifikasikan tipe bunuh diri menjadi 2, yaitu:
1. Egoistic suicide: bunuh diri yang terjadi karena rendahnya tingkat integrasi suatu kelompok sosial. Lemahnya integrasi ini menimbulkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat bukan pula bagian dari individu. Ringkasnya, kecenderungan bunuh diri beragam berdasarkan tingkat integrasi kelompok sosial tempat individu berada. Untuk sampai ke kesimpulan umum ini, Durkheim membandingkan tingkat bunuh diri yang terjadi dari tahun ke tahun di berbagai kelompok sosial: kelompok keagamaan, kelompok domestik (keluarga) dan masyarakat politik.
2. Altruistic suicide: bunuh diri yang terjadi akibat dari integrasi sosial yang sangat kuat di dalam masyarakat. Salah satu contoh dari kasus bunuh diri altruistis adalah bunuh diri massal yang dilakukan oleh pengikut Pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana (1978).
Secara khusus ada tiga tipe utama bunuh diri altruistik, ketiganya saling berkaitan satu sama lain. Tipe-tipe bunuh diri itu adalah:
1. Obligatory altruistic suicide, yaitu bunuh diri yang dilakukan seseorang bukan karena hal ini merupakan haknya tetapi karena kewajibannya. Jika orang yang bersangkutan gagal melaksanakan kewajiban ini, ia akan kehilangan kehormatannya dan juga mendapat sanksi yang biasanya bersifat keagamaan. Bunuh diri tipe ini terlihat dalam kasus-kasus di masyarakat tertentu. Contoh: adat budaya di India yang mengharuskan seorang janda untuk melakukan bunuh diri bersamaan dengan kematian suaminya, budaya “hara-kiri” dikalangan samurai Jepang pada zaman dahulu.
2. Optional altruistic suicide, yaitu sub-tipe bunuh diri yang dilakukan bukan atas dasar kewajiban (yang bersifat memaksa) yang ditetapkan secara eksplisit oleh masyarakat, tetapi atas dasar dukungan masyarakat. Maksudnya, mereka yang rela melakukan tindakan bunuh diri akan memperoleh penghargaan dan kehormatan, contoh: “kamikaze” yang dilakukan oleh para prajurit Jepang saat PD II untuk melindungi negaranya dari serangan sekutu.
3. Acute altruistic suicide atau mystical suicide, tipe ini merupakan bunuh diri dimana sang pelaku membunuh dirinya murni karena kepuasannya untuk mengorbankan diri. Tak ada alasan yang membuat bunuh diri kategori ini dapat disebut sebagai tindakan yang terpuji oleh masyarakat. Jadi, bunuh diri dalam tipe ini bukan karena adanya unsure kewajiban/paksaan, dan bukan juga karena didorong oleh keinginan pelakunya untuk mendapatkan kehormatan. Kasus-kasus bunuh diri ini sendiri terdapat antara lain di India (di kalangan para Brahma) dan juga di suku-suku tertentu di Jepang. Bentuknya: menjatuhkan diri ke dalam gunung berapi dalam suatu upacara keagamaan sementara warga lainnya menontonnya.
Sebaliknya, ketika integrasi menguat, mereka melakukan bunuh diri justru demi kebaikan yang lebih besar. Regulasi, merujuk pada tingkat paksaan eksternal yang dirasakan individu. Berdasarkan fakta regulasi ini, Durkheim mengklasifikasikan tipe bunuh diri menjadi 2, yaitu:
1. Anomic suicide: bunuh diri yang terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu dimana terjadi ketidakjelasan norma-norma yang mengatur cara berpikir, bertindak dan merasa para anggota masyarakat, gangguan itu mungkin membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak akan pernah puas terhadap kesenangan. Menurut Durkheim, suatu keadaan anomik dapat dilihat dari indikator ekonomi maupun domestik. Analisa statistik Durkheim memperlihatkan bahwa krisis ekonomi membuat orang kehilangan arah. Dalam keadaan seperti ini, ungkap Durkheim mereka harus beradaptasi dengan kondisi yang menimpa mereka, kondisi yang sangat menyiksa; mereka membayangkan penderitaan karena serba berkekurangan bahkan sebelum mereka mencoba kehidupan ini. Pertumbuhan kemakmuran yang mendadak dalam masyarakat juga memiliki dampak serupa terhadap peningkatan angka bunuh diri dalam masyarakat.
2. Fatalistic suicide: bunuh diri yang terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalisstik seperti “seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas”. Contoh klasik dari bunuh diri ini adalah budak yang menghabisi hidupnya karena putus asa akibat regulasi yang menekan setiap tindakannya.
Durkheim mengakhiri studinya tentang bunuh diri dengan sebuah pembuktian apakah reformasi bisa diandalkan untuk mencegah bunuh diri. Usaha-usaha yang selama ini dilakukan untuk mencegah bunuh diri gagal karena ia dilihat sebagai problem individu. Bagi Durkheim, usaha langsung untuk meyakinkan individu agar tidak melakukan bunuh diri ternyata sia-sia, karena penyebab riilnya justru ada dalam masyarakat.
3. Herbert spencer.
Herbert Spencer lahir pada tanggal 27 April 1820 di Derby Inggris. Ayah nya seorang guru bersikap amat kritis terhadap agama, hal mana meninggalkan kesan yang dalam pada anaknya. Ia melepaskan iman Kristen. Ia menjadi terkenal dan berpengaruh di dunia barat oleh ajarannya mengenai prioritas individu atau masyarakat (Individualisme) dan prioritas ilmu pengetahuan atas agama. Di waktu spencer belajar tentang gagasan Darwin ia bertekad untuk mengenakan prinsip evolusi yang tidak hanya pada bidang biologi, melainkan pada semua bidang pengetahuan lainnya. Proses evolusi masyarakat berawal dari perorangan bergabung menjadi keluarga, keluarga bergabung menjadi kelompok, kelompok bergabung menjadi desa, desa menjadi kota, kota menjadi Negara, Negara menjadi perserikatan bangsa-bangsa.
Teori spencer mengenai evolusi masyarakat merupakan bagian dari teorinya yang lebih umum mengenai evolusi seluruh jagat raya. Dalam bukunya social statics masyarakat disamakan dengan suatu organisme. Maksud spencer mengatakan bahwa masyarakat adalah organisme itu, dalam arti positivistis dan deterministis. Semua gejala social diterangkan berdasarkan suatu penentuan oleh hukum alam. Hukum yang memerintah atas proses pertumbuhan fisik badan manusia, memerintah juga atas proses evolusi social. Menurut Spencer, masyarakat adalah organisme yang berdiri sendiri dan berevolusi sendiri lepas dari kemauan dan tanggung jawab anggotanya, dan dibawah kuasa suatu hukum.
Spencer membedakan empat tahap evolusi masyarakat:
a) Tahap penggandaan atau pertambahan
Baik tiap-tiap mahluk individual maupun tiap-tiap orde social dalam keseluruhannya selalu bertumbuh dan bertambah
b) Tahap kompleksifikasi
Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya struktur organisme yang bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin kompleks.
c) Tahap Pembagian atau Diferensiasi
Evolusi masyarakat juga menonjolkan pembagian tugas atau fungsi, yang semakin berbeda-beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan social (Stratifikasi). Masyarakat menjadi terbagi kedalam kelas-kelas social.
d) Tahap pengintegrasian
Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan bahaya perpecahan, maka kecenderungan negative ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang mempersatukan. Pengintegrasian ini juga merupakan tahap dalam proses evolusi, yang bersifat alami dan spontan-otomatis. Manusia sendiri tidak perlu mengambil inisiatif atau berbuat sesuatu untuk mencapai integrasi ini. Sebaiknya ia tinggal pasif saja, supaya hukum evolusi dengan sendirinya menghasilkan keadaan kerjasama yang seimbang itu. Proses pengintegrasian masyarakat berlangsung seperti halnya dengan proses pengintegrasian antara anggota-anggota badan fisik Indonesia.
Pandangan Herbert Spencer dalam evolusi sosial terkenal dengan sebutan Darwinisme Sosial atau Social Darwinism. Herbert Spencer melihat ada kesamaan dalam teori evolusi darwin maka kadang manusia disebutnya sebagai organisme. Darwinisme Sosial menggambarkan bahwa perubahan dalam masyarakat berlangsung secara evolusioner (lama) yang dipengaruhi oleh kekuatan yang tidak dapat diubah oleh perilaku manusia.
Spencer juga membuat pengelompokan tipe-tipe masyarakat berdasarkan ciri-ciri mereka. Ia membedakan antara dua bentuk kehidupan bersama, yakni masyarakat militaristis dan masyarakat industry. Dalam masyarakat militaristis orang bersikap agresif, Mereka lebih suka merampas saja daripada bekerja produktif untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kepemimpinan atas tipe masyarakat ini berada ditangan orang yang kuat dan mahir di bidang peperangan atau pertempuran. Ia mempertahankan kekuasaanya dengan tangan besi, senjata dan melalui takhayul.
Masyarakat industry adalah masyarakat dimana kerja produktif dengan cara damai diutamakan di atas ekspedisi-ekspedisi perang. Spencer memakai kata “industry” bukan untuk tekhnologi melainkan dalam arti kerja sama spontan bebas demi tujuan daamai. Cirri-cirinya adalah demokrasi, adanya kontrak kerja yang mengganti sistem budak, liberali9sme dalam hal memilih agama, ada otonomi individu. Spencer berpendapat bahwa evolusi masyarakat industry ada kaitanya dengan sel-sel kelamin manusia yang sedikit demi sedikit mengalami perubahan dan peningkatan mutu. Menurut hemat spencer, kedua tipe masyarakat bertentangan satu terhadap yang lain dalam arti bahwa mereka saling menolak. Dengan teori ini Spencer menjadi penyambung lidahzaman yang amat optimism terhadap iktikad baik individu. Dalam bukunya The Man Versus the state Spencer menarik beberapa kesimpulan dari thesisnya, bahwa masyarakat industry harus di lihat sebagai pembebasan manusia dari cengkeraman Negara dan agama, yang kedua-duanya bersifat absolutistis.
Pada tahun 1850 Herbert Spencer mengenalkan Survival of The Fittest dalam buku Sosial Static, dia yakin bahwa kekuatan power hidup manusia adalah sarana untul menghadapi ujian hidup serta menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan social maupun fisik. Seleksi alam ‘yang kuatlah yang menang’ menjadi prasyaarat manusia menuju puncak kesempurnaan dan kebahagiaan. Survival oh The Fittest merupakan istilah yang digunakan oleh Spencer untuk menunjuk pada perubahan yang terjadi di dalam dunia sosial. Dalam hal ini ungkapan tersebut sebenarnya digunakan untuk menunjuk pada proses seleksi alam, akan tetapi Spencer menerima pandangan seleksi alam juga terjadi di dalam dunia social. Spencer menerima pandangan ini karena ia merupakan seorang Darwinis sosial. Jadi ia meyakini pandangan evolusi bahwa dunia tumbuh semakin baik. Dengan demikian, dunia harus dibiarkan begitu saja; campur tangan pihak luar akan memperburuk situasi ini. Jadi jika tidak dihambat oleh intervensi eksternal, orang yang kuat akan bertahan hidup dan berkembang biak, sementara yang lemah pada akhirnya akan punah. Teori Spencer mengedepankan perjuangan hidup dan karenanya sangat cocok dengan perkembangan kapitalisme, liberalisme, dan individualisme.
4. Max weber.
Max Weber lahir di Erfurt, Thuringia, 1864 dan lahir dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah seorang birokrat yang memiliki posisi politik yang relatif penting, sementara ibunya merupakan seorang calvinis yang sangat religious, seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi yang didambakan dalam oleh suaminya. Pada tahun 1904 dan 1905, ia menerbitkan salah satu karya terkenalnya The Protestant Ethic And The Spirit Of Capitalism. Dalam karya ini Weber menyatakan kesalehan sang ibu yang diwarisinya pada level akademik. Weber banyak menghabiskan waktu untuk mempelejari agama, kendati secara pribadi ia tidak religius.
Warisan idealisme historisisme Jerman pada disiplin sosiologi akan menempatkan Max Weber sebagai pencetus utamanya. Sebagai salah satu pemikir utama bidang sosiolgi yang berasal dari Jerman, Weber mewariskan idealisme historisisme melalui pemikirannya sebagai seorang sosiolog historis. Pandangan ini membawa kembali pada awal mula pembahasan Weber akan hubungan sejarah dengan sosiologi. Weber menjelaskan perbedaan antara sosiologi dengan sejarah: “Sosiologi berusaha merumuskan konsep tipe dan keseragaman umum proses-proses empiris. Ini berbeda dengan sejarah, yang berorientasi pada analisis kasual dan penjelasan atas tindakan, struktur, dan kepribadian individu yang memiliki signifikansi kultural”. Meskipun membuat perbedaan, Weber mampu mengkombinasikan keduanya untuk membuat sosiologinya berorientasi pada pengembangan konsep yang jelas sehingga ia dapat melakukan analisis kausal terhadap fenomena sejarah. Weber mendefinisikan prosedur idealnya sebagai “perubahan pasti peristiwa-peristiwa konkret individual yang terjadi dalam realitas sejarah menjadi sebab-sebab konkret yang ada secara historis melalui studi tentang data empiris pasti yang telah diseleksi dari sudut pandang spesifik”. Prosedur ideal inilah yang menjadi sebuah idealisme historis Jerman yang dicetuskan dan dikaji oleh Max Weber sendiri sebagai dasar studi sosiologisnya dan diwariskan pada studi-studi sosiologi dunia.
Pandangan Menurut Weber, sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dan menguraikannya dengan menerangkan sebab–sebab tindakan tersebut. Dengan demikian, yang menjadi inti dari sosiologi adalah arti yang nyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan–alasan subyektif. Itulah yang kemudian menjadi pokok penyelidikan Max Weber dan disebutnya sebagai Verstehende Sociologie. verstehen merupakan kata dari bahasa Jerman yang berarti pemahaman. Dalam hal ini verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha mengerti dan memahami makna yang mendasari dan mengitari peristiwa atau fenomena sosial dan historis. Pendekatan ini bertolak pada gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya. Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya yang berasal dari bidang yang dikenal dengan Hermeneutika (Martin, 2000; Pressler dan Dasilva, 19996). Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah untuk memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Seperti kita ketahui bahwa frocus Weber pada konteks budaya dan sosio-struktural dari tindakan membawa kita pada pandangan bahwa verstehen adalah alat bagi analisis fenomena sosial level makro.
Dalam perkembangan karirnya sebagai tokoh sosiologi weber memberikan cukup pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, antara lain.
1) Weber membagi suatu masyarakat berdasarkan kelas, status social dan kekuasaan. Pandangan weber sebagai berikut :
Weber mendefinisikan 3 syarat munculnya situasi kelas:
1. Sejumlah individu memiliki kesamaan komponen kausal spesifik peluang hidup mereka.
2. Komponen ini hanya direpresentasikan oleh kepentingan ekonomi (penguasaan barang, peluang memperoleh pendapatan).
3. Direpresentasikan menurut syarat-syarat komoditas atau pasar tenaga kerja.
Status merujuk pada komunitas, kelompok status biasanya berupa komunitas. Weber mendefinisikan bahwa status adalah “Setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif”. sudah jadi semacam patokan umum kalau status dikaitkan dengan gaya hidup, (status terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi). Mereka yang berada dipuncak hierarki status memiliki gaya hidup berbeda dengan yang ada dibawah. Dalam hal ini gaya hidup atau status terkait dengan situasi kelas. Namun kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain. Status hadir dalam tatanan sosial. “ uang dan kedudukan kewirausahaan bukan merupakan kualifikasi status, kendati keduanya dapat mengarah kepadanya dan ketiadaan harta benda tidak dengan sendirinya membuat status jadi melorot, meskipun tetap dapat menjadi alasan bagi penurunan tersebut”.
Kekuasaan hadir dalam tatanan politik. Bagi Weber kekuasaan “ selalu merupakan struktur yang berjuang untuk meraih dominasi”. Dominasi dapat memiliki beragam basis, sah maupun tidak, namun yang terutama menarik perhatian Weber adalah bentuk dominasi yang sah, atau yang disebutnya dengan otoritas. Yang menjadi pokok perhatian weber, dan yang sangat penting dalam sebagian besar pemikiran sosiologisnya, adalah tiga dasar yang digunakan para pengikut untuk melegitimasi otoritas-rasional, tradisional dan karismatik. Otoritas yang mendapatkan legitimasi rasional bersandar kepada “ kepercayaan akan legalitas aturan tertulis dan hak mereka yang diberi otoritas berdasarkan aturan untuk mengeluarkan perintah’. Otoritas yang mendapat legitimasi tradisional didasarkan pada “ kepercayaan yang telah mapan terhadap kesucian tradisi kuno dan legitimasi mereka yang menjalankan otoritas berdasarkan tradisi tersebut”. Otoritas yang mendapat legitimasi dari kharisma didasarkan pada kesetiaan para pengikutnya terhadap kesucian yang tidak lazim, sosok teladan, heroisme, atau kekuatan khusus ( misalnya kemampuan menciptakan mukjizat) yang dimiliki pemimpin, maupun pada tatanan normatif yang diberlakukannya.
2) Masalah rasonalitas.
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Perbedaan pokok yang diberikan adalah mengenai tindakan rasional dan nonrasional. Tindakan rasional menurut Weber berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Didalam dua kategori utama mengenai tindakan rasional dan nonrasional itu, ada dua bagian yang berbeda satu sama lain, yaitu:
Tindakan rasional
· Tindakan Instrumental ( Zweckkrationalitat), Merupakan tingkat rasional yang paling tinggi. Meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium menentukan satu pilihan diantara tujuan-tujuan yang saling bersaingan ini. Individu itu lalu menilai alat yang mungkin dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang dipilih tadi. Tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang memiliki sifat-sifat sendiri (zweckratinational) apabila tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional.
· Rasionalitas yang berorientasi nilai ( Wertrationalitat), Jika dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, maka sifat rasionalitas yang beorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat yang hanya merupakan objek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih. Weber membagi rasionalitas menjadi dua jenis, yaitu rasionalitas sarana tujuan dan rasionalitas nilai. Namun konsep-konsep tersebut merujuk pada tipe tindakan. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi, perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, institusi, organisasi strata, kelas dan kelompok. Weber membedakan hal tersebut menjadi beberapa tipe, yaitu:
1. Rasionalitas praktis yang didefinisikan Kalberg sebagai ‘ setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan individu yang murni pragmatis dan egoistis”. Orang yang mempraktikan rasionalitas praktis menerima realitas yang ada dan sekedar mengalkulasikan cara termudah untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan ikatan magis primitif.
2. Rasionalitas teoretis. Rasionalitas teoretis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak seperti deduksi logis, induksi, atribusi kausalitas dan semacamnya. Tidak seperti rasionalitas praktis, rasionalitas teoretis mendorong pelaku untuk mengatasi realitas sehari-hari dalam upayanya memahami dunia sebagai kosmos yang mengandung makna. Efek rasionalitas intelektual pada tindakan sangat terbatas. Didalamnya berlangsung proses kognitif, tidak memengaruhi tindakan yang diambil, dan secara tidak langsung hanya mengandung potensi untuk memperkenalkan pola-pola baru tindakan.
3. Rasionalitas subtantif. Rasionalitas subtantif secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas subtantif melibatkan pemilihan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sistem nilai ( secara subtantif) tidak lebih rasional daripada sistem lainnya.
Akhirnya, dan yang terpenting dari sudut pandang penulis adalah rasionalitas formal yang melibatkan kalkulasi sarana-tujuan ( rasionalitas praktis). Namun kalau dalam rasionalitas praktis kalkulasi ini terjadi dengan merujuk pada kepentingan diri yang pragmatis.
Tindakan nonrasional.
· Tindakan Tradisional,Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional. Kalau seorang individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan menjadi tindakan tradisional. Individu tersebut akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta, dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku itu merupakan kebiasaan baginya.
· Tindakan Afektif, Tipe tindakan ini ditandain oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan, atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan seperti itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas lainnya.
3) Pandangan Weber mengenai agama dan lahirnya kapitalisme.
Salah satu perhatian utama Weber adalah hubungan antar berbagai agam dunia dengan perkembangan sistem ekonomi kapitalis yang hanya terjadi di barat (Schulchet, 1996). Weber terutama tertarik pada sistem gagasan agama-agama dunia, “semangat” kapitalisme, dan rasionalisasi sebagai nilai dan norma sistem modern. Ketika menganalisis hubungan antara agama-agama dunia dengan ekonomi, Weber mengembangkan tipologi jalan keselamatan. Asketisisme adalah jenis religiositas pertama yang cakupannya begitu luas, yang menggabungkan orientasi pada tindakan dengan komitmen orang beriman untuk meninggalkan kenikmatan dunia. Agama-agama asketis dapat dibagi 2 subtipe. Pertama, asketisisme dunia lain, yang meliputi serangkaian norma dan nilai yang memerintahkan para pengikut agar tidak bekerja di dunia sekuler dan melawan hawa nafsu (Kalberg, 2001). Yang paling menarik perhatian Weber adalah subtipe kedua, asketisisme duniawi, karena jenis ini mencakup calvinisme. Agama semacam itu tidak menolak dunia; namun, ia secara aktif menyerukan anggotanya untuk bekerja di dunia sehingga mereka dapat menemukan keselamatan, atau paling tidak tanda-tandanya. Tujuannya adalah kontrol ketat dan metodis atas pola kehidupan, pikiran, dan tindakan anggota-anggotanya. Anggota diperintahkan untuk menolak segala hal yang tidak etis, estetis, atau tergantung pada reaksi emosional mereka terhadap dunia sekuler. Penganut asketisisme duniawi tergolong untuk menyistemasikan perbuatan mereka.
Weber membagi lagi mistisisme sebagaimana yang dilakukan terhadap asketisisme. Mistisisme yang menolak dunia meliputi pelarian total dari dunia. Mistisisme duniawi mengarah pada upaya kontemplatif untuk memahami makna dunia, namun upaya-upaya ini berakhir dengan kegagalan, karena dunia dilihat berada diluar pemahaman individu. Bagaimanapun juga, kedua jenis mistisisme dan asketisisme yang menolak dunia dapat dilihat sebagai sistem gagasan yang menghambat perkembangan kapitalisme dan rasionalitas. Sebaliknya asketisisme duniawi adalah sistem norma dan nilai yang memberikan konstribusi pada perkembangan kedua fenomena tersebut di dunia barat.
5. Karl Marx
Karl Marx lahir pada tahun 1818 di kota Trier, perbatasan barat Jerman (pada waktu itu termasuk wilayah Prussia). Ia adalah seorang keturunan Yahudi. Ayahnya bernama Heinrich, dan ibunya bernama Henrietta yang berasal dari keluarga rabbi Yahudi. Marx melanjutkan studinya di Universitas Jena dan meraih gelar doktornya pada tahun 1841 pada usia 23 tahun, dengan sebuah disertasi berjudul “Perbedaan Filsafat alam Demokritos dan Epikuros”. Setelah lulus promosi, Marx pindah ke Koln dan menjadi pemimpin redaksi harian Die Rheinische Zitung, sebuah koran liberal-progresif. Karena mendapat kesulitan terus-menerus dari sensor pemerintah Prussia, Marx terpaksa melepaskan jabatannya pada tahun 1843 dan pindah ke Paris. Di Paris, Marx berhadapan untuk pertama kalinya dengan kaum buruh industri dan menjadi seorang sosialis, artinya ia pun menerima anggapan dasar sosialisme, bahwa sumber segala masalah sosial terletak pada lembaga hak milik pribadi. Ada tiga tulisan penting yang dihasilkan oleh Marx dalam periode ini. Pertama adalah Philosophical and Economic Manuscripts, pada tahun 1844, atau yang juga dikenal dengan Naskah-naskah Paris. Tulisan kedua adalah buku pertama Marx (yang sebagian juga ditulis oleh Engels) yang terbit dengan judul The Holy Family, dan yang ketiga, pada tahun 1846, Marx bersama Engels menulis buku tebal The German Ideologi.
Sejak dari Paris, Marx semakin memperhatikan ilmu ekonomi. Marx kian menenggelamkan diri dalam studi ilmu ekonomi. Akhirnya, pada tahun 1867, terbitlah buku pertama dari karya utama Marx yang dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran ramalannya tentang kehancuran kapitalisme dan keniscayaan sosialisme: Das Kapital, yang buku kedua dan ketiganya baru diterbitkan oleh Engels setelah Marx meninggal dunia. Buku Das Kapital ternyata mengecewakan banyak teman Marx, karena dianggap terlalu kering dan tidak jelas maksudnya. Namun, Marx semakin dikenal di kalangan para pemimpin gerakan buruh di benua Eropa. Ia sering dikunjungi untuk dimintai nasihat.
Pemikiran Sosiologis Karl Marx: Dialektika, Teori Kelas Sosial, Determinisme Ekonomi, dan Kritik Masyarakat
a. Dialektika
Gagasan tentang filsafat dialektis telah ada selama berabad-abad (Gadamer, 1989). Gagasan dasarnya adalah arti penting kontradiksi. Filsafat dialektis percaya bahwa kontradiksi-kontradiksi eksis di dalam realitas dan bahwa cara yang paling tepat untuk memahami realitas adalah dengan mempelajari perkembangan kontradiksi-kontradiksi tersebut. Hegel menggunakan ide tentang kontradiksi untuk memahami perubahan historis. Menurutnya, perubahan historis digerakkan oleh pemahaman-pemahaman yang saling berlawanan, yang merupakan esensi dari realitas dan kontradiksi-kontradiksi baru yang berkembang.
Marx juga menerima arti penting kontradiksi-kontradiksi untuk perubahan historis yang dapat dilihat dalam rumusannya yang terkenal seperti “kontradiksi kapitalisme” dan “kontradiksi kelas”. Namun, berbeda dengan Hegel, Marx tidak percaya bahwa kontradiksi-kontradiksi ini dapat dipecahkan di dalam pemahaman pikiran manusia. Bagi Marx, kontradiksi-kontradiksi ini benar-benar ada (Wilde, 1991: 277) dan harus dipecahkan melalui perjuangan hidup dan mati. Hal tersebut menjadikan karya Marx sangat relevan untuk sosiologi, yakni dialektika lebih membawa kita kepada minat untuk mengkaji konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di antara berbagai level realitas sosial.
b. Teori Kelas Sosial
Salah satu kontradiksi yang paling mendalam dan luas yang melekat dalam setiap masyarakat dimana ada pembagian kerja dan pemilikan pribadi adalah pertentangan antara kepentingan-kepentingan materiil dalam kelas-kelas sosial yang berbeda. Marx bukanlah orang pertama yang menemukan kelas sosial dalam masyarakat. meskipun dia sendiri sering menggunakan konsep itu, namun dia tidak pernah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan istilah “kelas”. Menurut Karl Marx, pelaku-pelaku utama dalam perubahan sosial bukanlah individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Menurutnya, dalam dalam setiap masyarakat akan terlihat adanya kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Sebagai catatan pendahuluan perlu diperhatikan bahwa menurut Marx, masyarakat kapitalis terdiri dari tiga kelas, yakni kaum buruh (hidup dari upah), kaum pemilik modal (hidup dari laba), dan tuan tanah (hidup dari sewa tanah). Akan tetapi, pada akhir kapitalisme, para tuan tanah menjadi sama dengan para pemilik modal.
Berikut ini beberapa unsur dalam teori kelas Karl Marx yang perlu diperhatikan.
- Pertama, tampak betapa besarnya peran segi struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas. Pertentangan antar buruh dengan majikan bersifat objektif karena berdasarkan kepentingan objektif yang didasarkan kedudukan mereka masing-masing dalam proses produksi.
- Kedua, karena kepentingan kelas pemilik dengan kelas buruh secara objektif bertentangan, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda terhadap perubahan sosial. Kelas pemilik, dan kelas-kelas atas pada umumnya mesti bersikap konserfatif, sedangkan kelas buruh, dan kelas-kelas bawah pada umumnya, akan besikap progresif dan revolusioner.
- Ketiga, dengan demikian menjadi jelas mengapa bagi Marx setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi. Begitu kepentingan kelas bawah yang sudah lama ditindas mendapat angin, kekuasaan kelas penindas mesti dilawan dan digulingkan. Apabila kelas bawah bertambah kuat, kepentingannya pun akan mengalahkan kepentingan kelas atas, jadi akan mengubah ketergantungan dari pada pemilik dan itu berarti membongkar kekuasaan kelas atas.
c. Determinisme Ekonomi
Marx sering kali terkesan sebagai seorang determinis ekonomi. Dia seolah melihat sistem ekonomi berada pada titik terpenting dan menentukan seluruh sektor lain dalam kehidupan masyarakat, baik politik, agama, sistem gagasan, dan lain sebagainya. Meskipun Marx melihat sektor ekonomi sebagai sesuatu yang sangat penting, paling tidak dalam masyarakat kapitalis, namun sebagai seorang penganut dialektika ia tidak dapat mengambil posisi deterministis, karena dialektika dicirikan oleh pandangan bahwa terdapat umpan balik terus menerus dan interaksi timbal balik antar berbagai sektor kehidupan masyarakat. Kendati seorang yang menganut paham dialektis, Marx masih ditafsirkan sebagai seorang determinis ekonomi.
d. Kritik Masyarakat
Dasar pemikiran Karl Marx mengenai kritik masyarakat dilatarbelakangi oleh hasil kritikannya terhadap kritik agama milik Feuerbach. Inti kritik agama Feuerbach adalah bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, akan tetapi Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama hanyalah sebuah proyeksi manusia. Allah, malaikat, surga, neraka tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya merupakan gambaran-gambaran yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri. Kritik agama membawa Marx pada kesadaran bahwa sasaran kritik yang sebenarnya adalah masyarakat, yakni yang berkaitan dengan dasar keterasingan manusia. Menurut Feuerbach, agama membuat manusia menjadi egois, yaitu manusia lebih senang mengasingkan potensi-potensi diri ke dalam cinta kasih Illahi daripada mengembangkan cinta kasih dan persahabatan. Marx, mengikuti Feuerbach, memahami manusia sebagai sebagai makhluk sosial. Akan tetapi, menurut Marx, membongkar agama tidak akan menghilangkan egoisme dan tidak akan mengembalikan hakikat sosial manusia. Sementara itu, inti dari kritik masyarakat ialah konsep civil society yang menyebabkan manusia bersikap egois.
Tujuan utama dari pemikiran Karl Marx mengenai dialektika, teori kelas sosial, determinisme ekonomi, dan kritik masyarakat ialah menciptakan masyarakat tanpa kelas.
Pemikiran Karl Marx mengenai Materialisme Sejarah
Materialisme Sejarah merupakan suatu pendekatan metodologis untuk mempelajari masyarakat, ekonomi, dan sejarah. Materialisme historis mencari penyebab perkembangan dan perubahan dalam masyarakat manusia dalam cara-cara yang manusia secara kolektif menghasilkan kebutuhan hidup. Non-ekonomi fitur masyarakat (kelas sosial misalnya, struktur politik, ideologi) dilihat sebagai hasil dari kegiatan ekonomi. Perdebatan mengenai relevansi tulisan-tulisan marx dalam tahun 1843 dan tahun 1844 terhadap konsepsinya yang matang mengenai materialisme sejarah, mulai berkurang sejak diternitkannya pada tahun 1929-1932. Pertentangan ini jelas mempunyai akibat langsung yang bersifat politik dan agaknya sukar untuk berharap bahwa butiran-butiran yang dipersoalkan dapat dipecahkan dengan memuaskan semua pihak yang terlibat.
Dasar-dasar utama dari materialisme sejarah, sebagai suatu persepektif untuk analisa perkembangan sosial. Kendati marx sering menulis dalam bahasa hegel dan Feuerbach dalam karya dininya, namun sangat jelas bahwa pendirian Marx yang timbul, merupakan putus hubungan secara epistemologi yang menentukan dengan penulis-penulis tersebut dan terutama dengan Heggel. Yang dicari marx untuk menggatikan pandangan yang lebih tua bukanlah suatu filsafat baru, Marx memilih untuk menanggalkan filsafat dan mengutamakan suatu pendekatan sosial dan historis. Dengan demikian Marx dalam naskah-naskah 1844-nya telah menekankan, bahwa kapitalisme berakar dalam suatu bentuk masyarakat , yang ciri struktural utamanya adalah suatu pola hubungan kelas bercabang dua, antara kapital dan tenaga kerja penerima upah.
Menurut karl marx terdapat keterkaitan terhadap system kapitalisme dengan matrealisme sejarah , Dimulai dengan revolusi Rusia 1917, negara Komunis meningkat dalam jumlah, dan Perang Dingin dimulai dengan negara-negara kapitalis maju. Setelah Revolusi tahun 1989, banyak negara-negara komunis mengadopsi ekonomi pasar. Beberapa tanggapan dan kritik tentang kapitalisme sebagai berikut :
Pertama, Kapitalisme pasti menghasilkan sistem kelas yang memecah masyarakat dan membuat pertentangan kelas. Didalam kapitalisme muncul sebuah situasi dimana beberapa orang memiliki kekuasaan atas kehidupan orang lain. Ada ketidaksetaraan, ketidakadilan dan pembedaan yang terjadi antara orang kaya dan orang miskin, yang melibatkan perbedaan dengan dasar kekayaan, kekuasaan dan kesempatan. Inilah yang disebut stratifikasi atau kelas-kelas dalam masyarakat. Stratifikasi atau kelas-kelas dalam masyarakat itu riil dan ada dalam masyarakat, baik itu berdasarkan pada harta, kepemilikan tanah, barang, harta atau pangkat, jabatan atau status sosial. Contoh kongkrit adalah pembagian BLT yang ditujukan pada masyarakat miskin dan kelas bawah. Inilah contoh paling kongkrit bahwa secara langsung memang ada pembagian kelas sosial dan stratifikasi dalam masyarakat.
Kedua, Kapitalisme adalah sebuah sistem yang didasarkan pada eksploitasi dimana para pekerja yang menghasilkan kekayaan diingkari hak-haknya dan andilnya. Buruh bekerja lebih banyak dan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bekerja menghasilkan banyak barang, namun upah yang didapat hanya sedikit jika dibanding dengan keuntungan yang dipunyai para kapitalis. Makanya di negara industri, selalu terjadi pemogokan buruh dengan tema utama meminta kenaikan upah. Mobilitas vertikal dalam stratifikasi sistem kapitalisme sangat tertutup peluangnya bagi kaum pekerja. Dan posisi ketidaksetaraan dilanggengkan melalui warisan.
Ketiga, Kapitalisme adalah juga sebuah sistem yang sangat tidak efisien. Orang mengalami kemiskinan, pengangguran dan menjadi gembel karena kerja buta dari sebuah sistem yang tidak bisa mereka kontrol (seperti lingkaran perdagangan). Produksi dalam sistem industri kapitalisme banyak menghasilkan barang yang sebenarnya tidak berguna bagi orang banyak, namun tetap saja diproduksi karena hanya untuk mengejar keuntungan dan masyarakat kemudian “dipaksa” melalui agitasi dan propaganda yang gencar melalui sistem kapitalisme untuk mengkonsumsi produk yang sebenarnya tidak berguna tersebut.
Ketiga, Kapitalisme adalah juga sebuah sistem yang sangat tidak efisien. Orang mengalami kemiskinan, pengangguran dan menjadi gembel karena kerja buta dari sebuah sistem yang tidak bisa mereka kontrol (seperti lingkaran perdagangan). Produksi dalam sistem industri kapitalisme banyak menghasilkan barang yang sebenarnya tidak berguna bagi orang banyak, namun tetap saja diproduksi karena hanya untuk mengejar keuntungan dan masyarakat kemudian “dipaksa” melalui agitasi dan propaganda yang gencar melalui sistem kapitalisme untuk mengkonsumsi produk yang sebenarnya tidak berguna tersebut.
Keempat, produksi dilakukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk mencari kegunaan dan kemanfaatan. Para kapitalis terus memproduksi barang bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, namun untuk mencari keuntungan, sehingga ketika barang yang sudah diproduksi semakin banyak, dimulailah ekspansi mencari pasar baru. Inilah sifat dasar kapitalisme yang semakin mendasarkan diri pada sifat tamak dan rakus manusia. Sistem inilah yang kemudian menimbulkan ekspansi dan penjajahan atau kolonialisme..
Kelima, sistem kapitalisme mempunyai pengaruh yang sangat buruk dan merusak sifat manusia. Sistem kapitalisme membuat manusia menjadi egois, tamak, dan kejam. Nilai kemanusiaan seperti kerjasama, kasih sayang, ditekan dan terdistorsi. Hal ini karena sistem kapitalisme bersumber dari filsafat liberalisme dimana setiap orang hanya bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, sementara arti kebersamaan, komunitas dan kepedulian terhadap orang lain, terutama kepada orang miskin semakin dikurangi.
Kelima, sistem kapitalisme mempunyai pengaruh yang sangat buruk dan merusak sifat manusia. Sistem kapitalisme membuat manusia menjadi egois, tamak, dan kejam. Nilai kemanusiaan seperti kerjasama, kasih sayang, ditekan dan terdistorsi. Hal ini karena sistem kapitalisme bersumber dari filsafat liberalisme dimana setiap orang hanya bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, sementara arti kebersamaan, komunitas dan kepedulian terhadap orang lain, terutama kepada orang miskin semakin dikurangi.
6. Ferdinand Tonnies
Ferdinand Toennies lahir di Schleswig, Jerman Timur pada tahun 1855 dan wafat pada tahun 1936. Sepanjang hidupnya ia bekerja di Universitas Kota Kiel. Hasil karyanya yang terkenal membahas tentang teori perubahan masyarakat yaitu Gemeinschaft dan Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887) yang selanjutnya diedit dan di alihbahasakan kedalam bahasa Inggris menjadi Community and Society (1957) oleh Charles P. Loomis, karyanya yang lain yang berupa essai-essai tentang sosiologi terdapat di dalam bukunya Einfuhrung in die Soziologie (An Introduction to Sociology).
Masyarakat adalah karya ciptaan manusia sendiri. Hal ini ditegaskan oleh tonnies dalam kata pembukaan bukunya. Masyarakat bukan organisme yang dihasilkan oleh proses- proses biologis, juga bukan mekanisme yang terdiri dari bagian- bagian individual yang masing- masing berdiri sendiri, sedang mereka didorong oleh naluri- naluri spontan yang bersifat menentukan bagi manusia. Masyarakat adalah usaha manusia untuk mengadakan dan memelihara relasi- relasi timbal balik yang mantap. Kemauan manusia mendasari masyarakat. Berkenaan dengan kemauan itu Toennies membedakan antara zweekwille yaitu kemauan rasional yang hendak mencapai suatu tujuan dan triebwille yaitu dorongan batin berupa perasaan. Keduanya berasal dari Wilhelm Wundt. Kita bicara tentang zweekwille apabila orang hendak mencapai suatu tujuan tertentu dan mengambil tindakan rasional ke arah itu. Suatu no nonsense mentality menuntun orang dalam merencanakan langkah- langkah tepat untuk mencapai tujuan itu. Toennies membedakan masyarakat kedalam dua tipe yaitu:
1. Gemeinschaft (paguyuban)
Merupakan bentuk kehidupan bersama dimana anggota- anggotanya diikat dalam hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah dan bersifat kekal. Dasar hubungan adalah rasa cinta dan persatuan batin yang juga bersifat nyata dan organis sebagaimana dapat diumpamakan peralatan hidup tubuh manusia atau hewan. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi gemeinschaft adalah bentuk hidup bersama yang lebih bersesuaian dengan triebwille. Kebersamaan dan kerjasama tidak dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan di luar, melainkan dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Para anggota diperstukan dan disemangati dalam perilaku sosial mereka oleh ikatan persaudaraan, simpati dan perasaan lainnya sehingga mereka terlibat secara psikis dalam suka duka hidup bersama. Dengan kata lain bahwa mereka sehati dan sejiwa. Menurut Ferdinand Toennies prototipe semua persekutuan hidup yang dinamakan gemeinschaft itu keluarga. Ketiga soko guru yang menyokong gemeinschaft adalah:
a. Gemeinschaft by blood
Yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Contoh: kekerabatan, masyarakat- masyarakat suatu daerah yang terdapat di daerah lain. Seperti ikatan mahasiswa Jambi di Yogyakarta.
b. Gemeinschaft of place
Yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapat saling tolong menolong. Contoh: RT dan RW.
c. Gemeinschaft of mind
Yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideologi atau pikiran yang sama.
2. Gesellschaft (patembayan)
Merupakan bentuk kehidupan bersama yang merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok dan biasanya untuk jangka waktu yang pendek. Gesellschaft bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka, serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan pada sebuah mesin. Apabila dilihat secara sepintas kumpulan itu mirip dengan gemeinschaft yaitu sejauh para individual hidup bersama dan tinggal bersama secara damai tetapi dalam gemeinschaft mereka pada dasarnya terus bersatu sekalipun ada faktor- faktor yang memisahkan, sedang dalam gesellschaft pada dasarnya mereka tetap terpisah satu dari yang lain, sekalipun ada faktor- faktor yang mempersatukan. Toennies memakai istilah “hidup yang organis dan nyata (real)” untuk relasi- relasi yang berlaku didalam gemeinschaft dan istilah “ struktur yang khayal dan mekanis” untuk relasi- relasi yang berlaku di dalam gesellschaft. Namun Toennies tidak pernah mengatakan bahwa tipe masyarakat gemeinschaft adalah (sama dengan ) organisme, dan tipe masyarakat gesellschaft adalah (sama dengan mekanisme. Ia hanya bertujuan untuk melukiskan atas cara abstrak dan dengan memakai konsep- konsep dua bentuk atau tipe kehidupan bersama yang berbeda- beda dan merupakan dua kemungkinan abstrak. Toennies menegaskan, bahwa setiap relasi selalu mengungkapkan ketunggalan dalam kebhinekaan, dan kebhinekan dalam ketunggalannya. Hanya kalau kita membuat suatu deskripsi yang umum dan abstrak, kita mempertentangkan unsur yang satu terhadap unsur yang lainnya.
7. Georg Simmel
Georg Simmel lahir di pusat kota Berlin pada tanggal 1 Maret 1858. Ia belajar berbagai bidang studi di Universitas Berlin. Kendati berada pada posisi pinggir Simmel agak sukses menjalani kariernya, terutama karena ia adalah seorang pemberi kuliah yang begitu cemerlang dan menarik perhatian mahasiswa. Gayanya begitu populer sehingga anggota masyarakat yang berpendidikan sekalipun tertarik mengikuti kuliahnya, yang kemudian menjadi acara publik.
Interaki social menurut Georg Simmel.
Simmel menjelaskan bahwa salah satu minat utamanya adalah interaksi (asosiasi) antar actor sadar dan tujuan minatnya ini adalah melihat besarnya cakupan interaksi yang pada suatu ketika mungkin terlihat sepele namun pada saat lain sangat penting. Ini buknannya kelanjutan minat Durkheim tentang fakta sosial ,namun lebih merupakan pernyataan tentang fokus sosiologi yang skalanya lebih kecil.
Karena Simmel kadang-kadang mengambil posisi yang terlalu dibesar-besarkan terkait dengan arti penting interaksi dalam sosiologinya, banyak orang tidak memerhatikan aspek realitas sosial ppada skala lebih besar. Kadang-kadang misalnya,ia menyamakan masyarakat dengan interaksi : “Masyarakat. . .hanyalah sintesis atau istilah umum bagi totalitas interaksi spesifik ini. . .’Masyarakat’ identik dengan seluruh hubungan ini”(Simmel,1907/1978; 175). Pernyataan tersebut dapat dijadikan sebagai afirmasi minatnya pada interaksi,namun seperti akan kita ketahui ,dalam sosiologi umum dan filosofinya ,Simmel mengemukakan pandangan tentang konsepsi masyarakat dan kebudayaan yang berskala jauh lebih besar. Pokok perhatian utama Simmel bukanlah isi melainkan bentuk interaksi sosial. perhatian ini muncul dari keidentikan Simmel dengan tradisi Kantian dalam filsafat,yangh memisahkan bentuk dan isi. Namun pandangan Simmel cukup sederhana. Dari sudut pandang Simmel, dunia nyata tersusun dari peristiwa,tindakan,interaksi, dan lain sebasginya yang tak terhingga. Untuk memecahkan teka-teki realitas ini (“isi”),orang menatanya dengan menerapkan sejumlah pola,atau bentuk padanya. Menurut pandangan Simmel tugas sosiolog adalah melakukan hal yang sama persis dengan apa yang dilakukan orang awam,yaitu menerapkan bentuk yang jumlahnya terbatas kepada realitassosial,khususnya pada interaksi,sehingga dapat di analisis secara lebih baik. metodologi secara umum meliputi ekstrasi kesamaan yang ditemukan pada luasnya bentangan interaksi spesifik. Minat Simmel pada bentuk interaksi sosial yang menuai beragam kritik. Sebagai contoh, ia dituduh memaksakan suatu tatanan yang sebenarnya tidak ada dan dituduh menghasilkan serangkaian studi yang tidak saling terkait dan pada akhirnya sama sekali tidak menerapkan tatanan yang lebih baik pada kompleksitas realitas sosial bila dibandingkan dengan yang dilakukan orang awam.
Simmel relatif tidak banyak membahas struktur masyarakat pada skala-besar. Sebenarnya, kadang-kadang, karena fokusnya pada pola-pola interaksi, ia mengabaikan eksistensi level realitas sosial tersebut. Contoh hal di atas dapat ditemukan dalam upayanya mendefinisikan masyarakat, dimana ia menolak pandangan yang dipaparkan Emile Durkheim bahwa masyarakat adalah entitas riil dan material. Lowis Coser mencatat,”Dia tidak melihat masyarakat sebagai suatu benda atau organisme” (1965: 5). Simmel juga merasa tidak cocok dengan konsepsi nominalis bahwa masyarakat tidak lain hanyalah kumpulan individu terisolasi. Ia menerapkan pandangan menengah, yang mengonsepsikan masyarakat senagai serangkaian interaksi (Spykman, 1925/1966: 88). “Masyarakat hanyalah nama bagi sejumlah individu yang dihubungkan oleh ‘interaksi”’(Simmel, dikutip dalam Coser, 1965: 5).
Meskipun Simmel memaparkan pandangan interaksionisnya, dalam karya-karyanya ia tampil sebagai seorang realis, seolah-olah masyarakat adalah struktur material nyata. Kemudian, terdapat kontradiksi dasar pada level sosial-struktural dalam karya Simmel. Simmel mencatat, ”Masyarakat melampaui individu dan menjalani hidupnya sendiri dengan hukumnya sendiri pula. Masyarakat juga menghadapkan individu dengan pakem-pakem sejarah yang bersifat imperatif” (1908/1950a: 258). Coser menangkap esensi dari pemikiran Simmel ini: “Struktur supraindividu yang lebih besar –nnegara, marga, keluarga, kota atau serikat pekerja- hanya menjadi kristalisasi interaksi ini, meskipun kita bahkan dapat mencapai otonomi dan permanensasi serta menghadapi individu seakan-akan sebagai kekuatan asing” (11965:5). Rudolp Heberle mengemukakan poin yang pada dasarnya sama: “Orang jarang mampu keluar dari kesan bahwa Simmel memandang masyarakat sebagai hubungan antar faktor struktural, di mana manusia tampak sebagai objek pasif ketimbang sebagai aktor yang hidup dan berkehendak” (1965: 117).
THE PHILOSOPHY OF MONEY, Buku ini menggambarkan dengan baik betapa luas dan majunya pemikiran Simmel. Secara konklusif buku ini menunjukkan paling tidak Simmel layak mendapatkan pengakuan atas teori umumnya maupun esai-esainya tentang sosiologi mikro, yang sebagian besarnya dapat dilihat sebagai manifestasi spesifik teori umumnya. Buku ini juga menunjukkan kalau Simmel memusatkan perhatiannya pada uang, minatnya pada fenomena ini melekat pada serangkaian pokok perhatian teoretis dan filosofis yang lebih luas. Buku The Philosophy Of Money memiliki banyak kesamaan dengan karya Karl Marx. Seperti halnya Marx, Simmel juga memusatkan perhatiannya pada Kapitalisme dan masalah yang ditimbulkan oleh ekonomi uang. Namun, kendati memiliki kesamaan, keduannya juga memiliki perbedaan-perbedaan, sebagai contoh Simmel melihat masalah ekonomi pada zamanya sekedar sebagai manifestasi spesifik dari masalah kebudayaan yang lebih umum, yaitu aliansi kebudayaan objektif dari kebudayaan subjektif. Bagi Marx masalah-masalah ini tak lain adalah masalah kapitalisme, namun bagi Simmel semua itu adalah bagian dari tragedi universal-meningkatnya ketidakberdayaan individu ketika terjadi pertumbuhan kebudayaan objektif. Kalau analisis Marx secara historis bersifat spesifik, analisis Simmel berusaha menyaripatikan kebenaran abadi ini dari dinamika sejarah manusia.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Auguste Comte dengan teori evolusinya, dengan membagi tahap perkembangan masyarakat terdiri dari tahap teologis, metafisik, dan positivism. Emile durkeim yang mengklasifikasikan penyebab terjadinya fenomena bunuh diri di masyarakat, serta teori fakta social. Herbert spencer dengan teori Proses evolusi masyarakat berawal dari perorangan bergabung menjadi keluarga, keluarga bergabung menjadi kelompok, kelompok bergabung menjadi desa, desa menjadi kota, kota menjadi Negara, Negara menjadi perserikatan bangsa-bangsa serta mengemukakan teori “ Survival Of the Fithes “. Max Weber dengan membagi suatu masyarakat berdasarkan kelas, status social dan kekuasaan, moralitas,dan vesterhen. Karl Marx dengan Pemikiran Sosiologis Dialektika, Teori Kelas Sosial, Determinisme Ekonomi, dan Kritik Masyarakat. Ferdinand Tonnies dengan Hasil karyanya yang terkenal membahas tentang teori perubahan masyarakat yaitu Gemeinschaft dan Gesellschaft . Georg Simmel dengan teori interaksi sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA
Paul Johnson, Doyle. 1986.Teori Sosiologi Klasik dan Modern.Jakarta: PT Gramedia.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi dari teori sosiologi klasik hingga perkembangan mutakhir teori sosial post modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Veeger, K. J.1986. Realitas Sosial, Jakarta: PT Gramedia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar